Facebookers communitas
SEBRANG [ SELAGAI LINGGA, LAMPUNG TENGAH, LAMPUNG, SUMATRA]
creat of argir ( AREK GIRI )
Ada teduh dalam tatapan matamu ada cinta yang tulus untuk ku ada kasih yang terdalam dalam bathin mu dalam renta menahan sakit mu kau dekap aku dalam bahasa kasih yang tak pernah kumengerti kau kecup aku dengan bahasa cinta sucimu engkau melindungiku saat aku tak berdaya engkau curahkan tetesan kasih laksana embun yang mendinginkan daun dikala fajar menyengat halus lembut belaian tangan mu memberikan kekuatan untuk ku melewati jalan semu di hidup ku keluh kesah suara parau yang kudengar dalam doamu meminta dari yang khaliq sejuta kebaikan untuk diriku dalam derita yang kau tahan, dalam sakit yang kau simpan jelas tergambar duka yang mendalam kau emban dalam pundak deritamu kau simpan dari kami putra putrimu didalam tatapan syahdu dan sendu kau masih diam dan kelu kau meminta untuk beristirahat dalam kesendirianmu mencoba untuk menjauh, karena satu, kau tak mau membagikan duka mu tubuh mu semakin tak berdaya, menahan sakit yang amat menyiksa namun bening tatapan matamu masih memancarkan cinta yang terdalam yang kau punya kau bawa sejuta cinta dan kasih mu, dalam fajar pagi yang hangat melepaskan berjuta-juta beban dalam tubuh mu dalam larikan nafas akhirmu, kau hempaskan sejuta nestafa yang selama ini mengandoli tubuh mu meminta setitik cinta dari tuhan mu untuk jalan kembali pulang

Senin, 16 Mei 2011

Anak Gembala dan Induk Serigala

Inilah nyanyian anak gembala; “Sungai-sungai memandikan diri begitu bayangan hutan menyebelah barat. Pada batu padas kupunggungkan lelah ternak dan mimpi yang tak pernah jenak. Rumput segar; hidup yang hingar bingar. Serupa lenguh yang kudengar sebagai tanda saatnya untuk mene-rabas belukar. Ayo kawan, kita kembali berjalan ke arah reruntuhan bulan. Sebab di sana kita tempatkan sebentuk rumah bagi tubuh yang mulai lungkrah.”

Sebenarnya, bagi dia, pagi adalah waktu yang paling menyenangkan. Pagi adalah saat pucuk rerumputan yang masih berbalut titik embun ditumpahi berkas-berkas cahaya oleh matahari. Ada pelangi-pelangi kecil di lantai hutan. Mungkin tak ada seorang pun yang tahu tentang itu. Dia menggiring ternaknya dengan hati-hati, bukan hanya karena dia takut ada salah satu atau beberapa dari mereka luput dari pengamatannya tetapi juga karena dia tidak ingin pelangi-pelangi kecil itu rusak sedemikian cepat.

Dia ingat nyanyian tentang pelangi. “Pelangi. Pelangi. Ciptaan Tuhan.” Sejak pertama kali mendengar lagu itu, dia selalu berharap setelah gerimis, di langit, muncul seberkas pelangi. Konon, pelangi adalah tangga bagi para bidadari yang ingin mandi di sebuah telaga sunyi. Ah, Ibu. Kenapa engkau cepat pergi? Dia hampir lupa wajah ibu yang melahirkannya, hingga dia berharap bisa mencari tahu seperti apa wajah para bidadari itu. Barangkali ada wajah yang mirip dengan ibunya di antara mereka. Wajah yang selama ini dikenang lewat cahaya bulan, kerlip bintang, atau wangi hutan.

Lihatlah langkahnya begitu riang, tetapi tetap tenang. Seakan tak ada beban yang terpanggul di pundak kecilnya. Bukit-bukit dilaluinya dengan langkah panjang, mengejar ternak yang berjalan tergesa liar. Dia tak sadar tubuh kecilnya timbul tenggelam dalam tatapan seekor induk serigala yang lapar.

Dia sudah menunggu sekian lama untuk mendapatkan daging segar untuk anak-anaknya. Sekarang ini hutan tinggallah bayang-bayang pepohonan jarang di tengah-tengah ladang dan rerumputan gersang. Sulit sekali mencari mangsa buruan seperti kelinci, tikus hutan, kancil, atau menjangan. Jika nampak satu saja dari mereka, dia harus mengalah kepada anak kecil yang membawa tombak dan obor di tangannya. Dia takut sekali dengan benda yang menyala-nyala itu. Dulu dia pernah terpaksa keluar dari lubang sarangnya karena kebakaran hutan yang hebat. Dia tahu sekali benda itu terlepas dari tangan anak itu, maka akan terjadi lagi satu kejadian kebakaran. Dia membenci api!

Untuk itulah dia menunggu pagi. Saat itu api di tangan anak itu dipadamkan. Dia bisa menyerang tanpa ketakutan akan ada kebakaran yang bisa mencelakakan nyawa anak-anaknya yang belum lancar berlari. Sebelum tenaganya habis, sebelum anak-anaknya terdengar menangis dia harus bisa membunuh anak itu. Demikianlah tekadnya.

Maka disibaknya rerimbunan belukar untuk tetap bisa mengamati ke arah mana anak gembala itu pergi. Sapi-sapi yang digembalanya dari tadi sudah gelisah, mungkin dia mencium bau tubuhnya. Bau tubuh sang pemangsa! Padahal sebenarnya dia sudah mencari arah agar tubuhnya tidak terpapar oleh angin yang mengarah kepada anak gembala dan kumpulan ternaknya. Tapi cuaca memang sudah banyak berubah. Angin kencang juga hujan bisa datang sertamerta. Atau seperti sekarang, panas berkepanjangan. Bau tubuhnya meruap di udara terbuka. Ah, perburuan ini nampaknya akan sia-sia.

Sebelum dia melangkah lebih dekat, tiba-tiba anak gembala itu kembali bernyanyi; “Siang ini tak ada pelangi, langit seperti kampung memedi, pokok-pokok dilukis dalam sunyi. Tatu hutan tatu aku!”

Induk serigala itu sekarang tidak peduli lagi. Yang betul-betul dipahaminya adalah rasa laparnya sendiri juga rasa lapar anak-anaknya membuat dia harus mendapatkan makanan. Dia semakin mendekat kepada anak gembala yang tengah bersandar di batang pohon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar